MAKNA PENGORBANAN
SEBAGAI SUMBER ETIS, MORAL DAN SPIRITUAL
Jum'at 10 Jun 2011 05:29 AM Alim Sumarno, M.Pd
Menurut Moh Sholeh
(2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan
untuk mengeksploitasi sumber-sumber pendukung keseimbangan dan harmoni semesta,
baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral
dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan
terus-menerus mengumbar angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sebuah sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkorban demi kepentingan
bersama, mementingkan orang lain, bagai
pungguk merindukan bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan
beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap pandangan milik orang lain dan
menunggu kelengahannya. Modus operasinya bisa melalui tipu muslihat yang halus
ataupun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis,
mencopet, menodong, merampas, dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya.
Dalam masyarakat tragis, memang kita seperti iklan
cola-cola, always dicekam oleh kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang
mahal. Nihilnya freedom from fear, kata From. Padahal mestinya freedom from
fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya adalah dengan membangun
dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang lain, menolong
yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi
yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan
ancaman.
Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragis,
individu yang lahir akibat hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya
karena kegagalan komunikasi kepentingan antar-budaya, antar-individu. Dalam
pandangan Lucien Goldman, individu tragis adalah mereka yang sadar diri namun
tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Merujuk
Goldman, sebenarnya tidak saja individu tragis yang menyebarkan kebersamaan
kita sebagai satu bangsa, melainkan masyarakat tragis, budaya tragis, politik
tragis, ekonomi tragis, bahkan Indonesia yang tragis. Sebagai contoh kasus,
kita terus berlomba dengan Nigeria dan Banglades sebagai negara terkorup di
dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah akibat
dari bencana alam, konflik etnis, pertentangan agama, dan adanya
kantung-kantung pengungsi yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dalam Indonesia yang tragik, seluruh aspek kebersamaan dan
berkorban demi sesama pada tataran politik, ekonomi, budaya termasuk agama,
mengalami proses minimalis yang terus menukik menuju nihilisme. Betapa
ironisnya, suatu bangsa besar yang dibangun atas semangat Bhineka Tunggal Ika,
dan dengan mengorbankan egoisme sempit kesukuan, keagamaan dan kepentingan
kelompok, demi kesatuan dan keutuhannya, kini terseok-seok didera beragam
krisis. Potensi kebersamaan dan kekayaan negara, secara culas dan curang
diperebutkan oleh banyak kelompok anak bangsa, digeser menjadi milik golongan,
kelompok, perseroan ataupun perseorangan.
Dalam babakan kehidupan seperti inilah, pesan mengenai
pengorbanan haruslah sekuat tenaga kita transformasikan. Dalam babakan
kehidupan yang sama pula, nilai-nilai adi luhur pengorbanan itu menemukan
aktualitas, aksentuitas,dan resonansitasnya. Memang nilai-nilai pengorbanan
tidak secara langsung dan otomat sebagai shock therapy untuk menghilangkan
egoisme dan tragisme individu ataupun masyarakat, tapi paling tidak nilai
pengorbanan bisa kita jadikan pembuka jalan menuju kemanusiaan yang sempurna
(insan kamil).
Dalam formulasi Ali Syariati (1978) ada tiga tahap yang
harus ditempuh untuk sampai derajat insan kamil, yaitu (a) membuang jauh-jauh
rasa tamak dari dalam jiwa, (b) menaklukkan nafsu mementingkan diri sendiri
(pour soi), (c) dengan berpijak pada
keduanya individu akan terbawa pada ketulusan mengabdikan dan mengorbankan
segala yang ada kepada Tuhan dan kemanusiaan (en soi).
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, secara rinci
merangkum dalam tujuh pilar syarat aktivitas yang membebaskan sebagai berikut :
(a) prinsip cinta kasih, (b) rendah hati, (c) percaya pada daya kreativitas
manusia, (d) kepercayaan yang menuntut semua orang untuk berjiwa terbuka, (e)
merelatifkan pendapat yang berlaku umum tetapi salah, (f) membangkitkan
keberanian pribadi dalam kemapanan sosial (civil courage), (g) identifikasi
hakikat masalah (problem stellung) dengan penyadaran (conscientization)
(Kanisius, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar