Rabu, 18 April 2012


MAKNA PENGORBANAN SEBAGAI SUMBER ETIS, MORAL DAN SPIRITUAL

Jum'at 10 Jun 2011 05:29 AM Alim Sumarno, M.Pd
 Menurut Moh Sholeh (2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan untuk mengeksploitasi sumber-sumber pendukung keseimbangan dan harmoni semesta, baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan terus-menerus mengumbar angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sebuah sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkorban demi kepentingan bersama, mementingkan  orang lain, bagai pungguk merindukan bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap pandangan milik orang lain dan menunggu kelengahannya. Modus operasinya bisa melalui tipu muslihat yang halus ataupun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis, mencopet, menodong, merampas, dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya.
Dalam masyarakat tragis, memang kita seperti iklan cola-cola, always dicekam oleh kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang mahal. Nihilnya freedom from fear, kata From. Padahal mestinya freedom from fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya adalah dengan membangun dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang lain, menolong yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan ancaman.
Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragis, individu yang lahir akibat hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya karena kegagalan komunikasi kepentingan antar-budaya, antar-individu. Dalam pandangan Lucien Goldman, individu tragis adalah mereka yang sadar diri namun tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Merujuk Goldman, sebenarnya tidak saja individu tragis yang menyebarkan kebersamaan kita sebagai satu bangsa, melainkan masyarakat tragis, budaya tragis, politik tragis, ekonomi tragis, bahkan Indonesia yang tragis. Sebagai contoh kasus, kita terus berlomba dengan Nigeria dan Banglades sebagai negara terkorup di dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah akibat dari bencana alam, konflik etnis, pertentangan agama, dan adanya kantung-kantung pengungsi yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dalam Indonesia yang tragik, seluruh aspek kebersamaan dan berkorban demi sesama pada tataran politik, ekonomi, budaya termasuk agama, mengalami proses minimalis yang terus menukik menuju nihilisme. Betapa ironisnya, suatu bangsa besar yang dibangun atas semangat Bhineka Tunggal Ika, dan dengan mengorbankan egoisme sempit kesukuan, keagamaan dan kepentingan kelompok, demi kesatuan dan keutuhannya, kini terseok-seok didera beragam krisis. Potensi kebersamaan dan kekayaan negara, secara culas dan curang diperebutkan oleh banyak kelompok anak bangsa, digeser menjadi milik golongan, kelompok, perseroan ataupun perseorangan.
Dalam babakan kehidupan seperti inilah, pesan mengenai pengorbanan haruslah sekuat tenaga kita transformasikan. Dalam babakan kehidupan yang sama pula, nilai-nilai adi luhur pengorbanan itu menemukan aktualitas, aksentuitas,dan resonansitasnya. Memang nilai-nilai pengorbanan tidak secara langsung dan otomat sebagai shock therapy untuk menghilangkan egoisme dan tragisme individu ataupun masyarakat, tapi paling tidak nilai pengorbanan bisa kita jadikan pembuka jalan menuju kemanusiaan yang sempurna (insan kamil).
Dalam formulasi Ali Syariati (1978) ada tiga tahap yang harus ditempuh untuk sampai derajat insan kamil, yaitu (a) membuang jauh-jauh rasa tamak dari dalam jiwa, (b) menaklukkan nafsu mementingkan diri sendiri (pour soi),  (c) dengan berpijak pada keduanya individu akan terbawa pada ketulusan mengabdikan dan mengorbankan segala yang ada kepada Tuhan dan kemanusiaan (en soi).
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, secara rinci merangkum dalam tujuh pilar syarat aktivitas yang membebaskan sebagai berikut : (a) prinsip cinta kasih, (b) rendah hati, (c) percaya pada daya kreativitas manusia, (d) kepercayaan yang menuntut semua orang untuk berjiwa terbuka, (e) merelatifkan pendapat yang berlaku umum tetapi salah, (f) membangkitkan keberanian pribadi dalam kemapanan sosial (civil courage), (g) identifikasi hakikat masalah (problem stellung) dengan penyadaran (conscientization) (Kanisius, 2001).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar