Minggu, 22 April 2012
ANALISIS TAYANGAN MEDIA "Reality Show : Termehek-mehek"
Di layar kaca mudah kita jumpai aneka tayangan kisah nyata. Menurut Anette Hill (2005), kemunculan tayangan kisah nyata di Inggris adalah sumbangan dari perkembangan film dokumenter yang berpadu dengan jurnalisme tabloid dan hiburan populer.
Pada awal 1990-an, program populer seperti ini disukai penonton Inggris, bahkan BBC4 menjadi saluran khusus untuk mengeksplorasi aneka film dokumenter.
Di Indonesia, kita melihat—seperti dalam produksi televisi lainnya—satu stasiun sukses menyiarkan suatu tayangan kisah nyata pencarian orang, dan tak lama kemudian reality show lain pun mulai yang mengikuti segera bermunculan. Contoh, Trans TV sukses dengan program Termehek-mehek, stasiun lain ingin mendapat kisah yang sama. Peringkat untuk program tayangan kisah nyata jenis itu pun naik.
Hill juga mengatakan bahwa perkembangan tayangan kisah nyata adalah paduan buah pikir pemrogram TV dan arus komersialisasi, serta hasil persaingan antarstasiun. Tak ketinggalan adalah hitung-hitungan ekonomi. Bayangkan di Indonesia, untuk membuat sinetron, bayaran artis top bisa mencapai lebih dari Rp 20 juta per episode. Artinya, ongkos produksi satu episode sinetron bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Untuk tayangan kisah nyata, tak perlu ada bintang besar, cukup ada ”klien” (merujuk istilah yang muncul dalam program ini), pembawa acara, dan alat transpor, untuk operasi pencarian orang. Program ini mudah diproduksi, menghasilkan banyak iklan. Dengan skrip yang—mungkin sebagian besar—tak sepenuhnya berasal dari cerita nyata, plus dramatisasi dari para ”artis” yang biasa-biasa saja, mobil bepergian dari satu tempat ke tempat lain untuk mengumpulkan cerita.
Kondisi ini mirip saat kita melihat perkelahian atau tabrakan di jalan raya. Kita ingin ada drama. Kita ingin ada konflik. Kita ingin tahu ada masalah apa sebenarnya. Kita ingin tahu bagaimana akhir kisahnya.
Perempuan
Yang menarik, para pembawa acara tayangan kisah nyata sering menggunakan istilah ”klien” untuk mereka yang datang kepada tim ini (Termehek-mehek misalnya) dan memberi ide untuk mulai melakukan ”pencarian” seseorang.
Entah mengapa, yang menjadi ”klien” lebih banyak perempuan. Dengan bekal informasi secukupnya dari para klien, tim mulai berburu target utama.
Ibarat makan bubur panas, awalnya tim menyusuri pinggiran; menyusuri para informan untuk mengumpulkan informasi agak lengkap tentang target utama. Kekagetan demi kekagetan terkumpul, terangkum membingkai imajinasi sang target utama; misalnya, pria tak bertanggung jawab, kerap menimbulkan masalah, pria misterius, atau perempuan yang kerap menggandeng lelaki berbeda, dan lainnya.
Di sini, istilah ”klien” menarik dipersoalkan. Atas dasar informasi dari mereka yang datang kepada tim, sang klien lalu diperlakukan bak seorang pencari keadilan. Tim bergerak bersama dalam satu mobil dan kamera terus berputar merekam aneka percakapan di dalamnya. Dalam profesi dunia hukum, ”klien” adalah seseorang atau pihak yang didampingi seorang profesional untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam dunia hukum, ”klien” yang buta hukum didampingi penasihat hukum dan di dalamnya ada kalkulasi ekonomi tertentu atas jasa yang telah diberikan sang profesional.
Namun, dalam tayangan kisah nyata pencarian orang, ”klien” menjadi semacam penyewa jasa detektif swasta—ada izin operasional atau tidak?—untuk bisa bertanya kiri kanan, membuntuti seseorang, masuk dan menggedor pintu orang untuk ”mengetahui kebenaran sesungguhnya”.
Dari mana izin yang membolehkan tim tayangan kisah nyata ini—plus kamera yang terus jalan merekam ekspresi kaget, marah, atau menahan emosi—untuk bisa mengubek-ubek hidup pribadi seseorang, bahkan harta pribadi sang target utama.
Cukup dengan mengatakan bahwa si pembawa acara datang dari satu stasiun dengan nama program tayangan kisah nyatanya, maka ia seperti berhak bertanya-tanya, menginterogasi, membujuk, bahkan harus siap jika pihak yang didatangi menunjukkan sikap tidak suka.
Memang wajah seseorang kadang dibuat kabur untuk memberi efek seolah ada yang hendak dilindungi, atau di akhir acara selalu ada tagline ”Kisah ini telah disetujui oleh berbagai pihak yang terlibat”. Padahal, kita tak cukup tahu apakah itu benar-benar kisah nyata yang ditayangkan atau tak lebih dari tayangan baru yang intinya sama dengan tayangan lainnya?
”Klien” di sini seolah pihak yang tak perlu dikritik lagi dan memiliki kebenaran sesungguhnya—meski di akhir cerita, pemirsa baru bisa mendapat bingkai kisah yang lebih utuh; siapa sebenarnya yang ”jahat” dan yang ”baik”? Dan tim tayangan kisah nyata sedang mengabdi kepentingan klien yang mereka wakili.
Sejumlah pertanyaan
Atas dasar apakah sang klien bisa diambil kisahnya di bagian pengisahan tayangan kisah nyata? Apakah kasus pribadi seperti itu benar-benar punya makna bagi penonton? (”Memang tak bermakna, tetapi asyik ditonton.”) Mengapa penonton terbuai oleh kisah pribadi seperti ini? (”Karena seperti perkelahian di tengah jalan, orang ingin tahu masalahnya, kelanjutannya, dan akhir kisahnya.”) Apakah ini bagian dari budaya mengintip atau voyeurism yang ditampilkan via layar kaca? (”Sangat bisa jadi ’ya’.”) Kuasa kamera memungkinkan hal yang tak semestinya diumbar kepada publik (baca: pasar) jadi bisa ditonton jutaan orang. Narsisisme jelas berkontribusi besar menghasilkan kondisi ini.
Apakah pas istilah ”klien” di sini? Silakan jawab sendiri. Yang lebih penting; apakah setelah punya ”klien”, tim tayangan kisah nyata punya hak mengobok-obok hidup pribadi seseorang (target utama) bersenjatakan kamera dan lampu sorot, dan menyodorkan kebenaran ala ”klien”-nya? Adakah target utama diberi kesempatan berargumen? Tak terlalu penting.
Pertanyaan lain, dari mana tim punya ”izin” menginterupsi hidup seseorang dan menguak luka yang mungkin untuk sebagian orang telah dikubur dalam-dalam? Pusing? Matikan saja televisi Anda. Baca buku lebih bermanfaat: mencerdaskan!
Kamis, 19 April 2012
KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN
INDONESIA
Kajian
tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa
Komunikasi
antarbudaya terjadi ketika dua orang atau lebih dengan latar belakang budaya
yang berbeda saling berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa
masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak
menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah
komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal.
Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya
merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar
perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan
tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya
tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan
menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain.
Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa
bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi
fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan
pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.
Pentingnya
komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu
adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua
orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam
komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi
sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi
secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup
bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang
tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program
pengajaran bahasa asing seÂÂring mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.
Dewasa ini,
pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan pengalaman umum
yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya
perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri
dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membuat orang awam
berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu
yang universal.
Pada kenyataannya,
hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khususnya adalah
tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang
cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang
berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan
sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki
pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan
menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama
(Bennet, Milton J., 1998).
Tujuan kajian
tentang komunikasi antarbudaya antara Indonesia dan Korea ini adalah untuk
mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan
Korea. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Indonesia dan Korea
berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan
bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku
anggota masyarakat.
2. Dimensi
Ragam Budaya
Telah dikenal
ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara
orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan
budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun
perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat
banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang
diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang
mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam
komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi
berikut ini.
keyword:
komunikasi antar budaya, CONTOH KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA, komunikasi dalam
keanekaragaman antar budaya, contoh kasus komunikasi antar budaya, makalah
komunikasi antar budaya, komunikasi non verbal antar budaya, contoh komunikasi
antar budaya, pelecehan agama di temanggung, Contoh kasus komunikasi bisnis
lintas budaya, komunikasi bisnis antar budaya, contoh komunikasi antar budaya
di indonesia, masalah komunikasi antara budaya, cerita komunikasi lintas
budaya, contoh miss komunikasi akibat perbedaan budaya, makalah komunikasi
bisnis, contoh makalah komunikasi antar budaya, makalah komunikasi lintas
budaya, efek komunikasi antar budaya, contoh kesalahpahaman antar budaya,
pentingnya komunikasi antar budaya, contoh miss komunikasi yang diakibatkan
perbedaan budaya, contoh kasus terjadinya miss komunikasi yang diakibatkan
perbedaan budaya, makalah komunikasi bisnis lintas budaya, pentingnya komunikasi
antar budaya dalam bisnis, anekdot komunikasi lintas budaya, resume komunikasi
antar budaya, contoh kasus komunikasi bisnis, bentuk-bentuk komunikasi antar
budaya, kasus komunikasi bisnis antar budaya, miss komunikasi antar budaya.
TERJADINYA GEGAR BUDAYA
Ketika Adi lulus sekolah menengah atas (SMA), Adi memutuskan untuk melanjutkan studi saya ke Jawa Timur, tujuan Adi datang ke daerah Pasuruan. Awalnya ketika Adi datang di Pasuruan Adi merasa asing, terutama dalam pengucapan bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Dari budaya yang Adi anut, Adi memiliki latar belakang budaya orang Jawa Tengah. Walaupun Adi memiliki latar belakang budaya Jawa Tengah, namun Adi telah lama dan menetap di Sumatera Selatan, sehingga adat kebudayaan Adi telah banyak mengikuti orang-orang asli Palembang. Adi mampu berdialog dengan bahasa Jawa, namun bahasa yang dipakai Adi khas Jawa Tengah. Ketika sampai di daerah Pasuruan ia merasa tidak nyaman, karena ia merasa bahwa ia merasa dikucilkan oleh rekan satu Kos-nya. sesuatu ketika ada rekan satu kos Adi yang sakit, dengan dialog khas Jawa Tengah Adi bilang “nak enek konco seng sakit yo di tilik’i. (kalo ada teman yang sakit ya di jenguk)”. berhubung yang diajak berdialog orang Jawa Timur mereka semua bingung. Yang mereka ketahui bahasa “menilik’i”(Jawa Tengah: menjenguk/melihat. Jawa Timur: mencicipi/mencoba rasa sesuatu).
Dari contoh kasus diatas jelas bahwa dalam sebuah komunikasi antar budaya terjadi sebuah gangguan (noice), sebenarnya apa yang hendak disampaikan benar namun pada akhirnya bahasa yang diucapkan memiliki arti yang bereda dari makna yang diharapkan. Hal ini tentu sangat dipengaruhi dengan adanya perbedaan antara kultur budaya pada suatu daerah tertentu. Pada situasi yang demikian Adi mengalami sebuah kejutan budaya. Kejutan budaya mengacu pada reaksi psikologis yang dialami seseorang karena berada ditengah suatu kultur yang sangat berbeda dengan kulturnya sendiri. Kejutan budaya ini sebenarnya normal. Kebanyakan orang mengalami apabila memasuki kultur yang baru dan berbeda. Namun demikian, keadaan ini tidak menyenangkan dan menimbulkan frustasi. Sebagian dari kejutan ini timbul karena perasaan terasing menonjol dan berbeda dari yang lain. Bila kita kurang mengenal adat dan kebiasaan masyarakat baru ini, kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Kita akan cenderung melakukan kesalahan yang serius.
Budaya dan Komunikasi
Everret M. Rogers & Lawrence Kincaid menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi pengertian yang saling mendalam. Sedangkan menurut Ruesch komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan suatu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan.(fajar,2009;32)
Hubungan antara budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar komunikasi. Seorang Korea, seorang Mesir atau seorang Amerika belajar berkomunikasi seperti orang-orang lainnya. Perilaku mereka mengandung makna, sebab perilakutersebut dipelajari dan diketahui dan perilaku tersebut terikat oleh budaya. Budaya bersifat menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. ((Mulyana & Rahmat,2001;24)
Dalam berkomunikasi seseorang tidak akan pernah luput dari bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Komunikasi verbal adalah pernyataan lisan antar manusia lewat kata-kata dan simbol umum yang telah disepakati antar individu, kelompok bangsa dan Negara. Jadi komunikasi verbal dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan dilakukan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antar manusia. Dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara lisan atau pikiran, perasaan dan maksud kita. Dedi Mulyana mengungkapkan bahwa bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Beberapa komponen komunikasi verbal yaitu, suara, kata-kata, berbicara, bahasa.
Proses vebal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses nonverbal. Walaupan tidak dapat kesepakatan tentang bidang proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju bahwa hal-hal berikut mesti dimasukkan : isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Dalam proses-proses nonverbal yang relevan dengan komunikasi antarbudaya, terdapat beberapa spek diantaranya perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bentuk bahasa diam, konsep waktu, dan penggunaan dan pengaturan ruang.
Perbedaan bahasa tidak mengakibatkan perbedaan penting dalam persepsi, pemikiiran atau perilaku. Perbedaan diantara bahasa terlihat paling besar adalah pada waktu diawal interaksi. Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa kita menggunakan tekhnik-tekhnik komunikasi yang efektif. Bahasa itu mencerminkan budaya, semakin besar perbedaan budaya, semakin besar pula perbedaan komunikasi, baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Semakin besar perbedaan budaya maka semakin sulit komunikasi dilakukan. Kesulitan ini misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih bbesar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi. Kita perlu sangat peka terhadap hambatan-hambatan yang menghalangi komunikasi antarbudaya yang bermakna. Begitu juga, kita perlu menggunakan tekhnik-tekhnik yang membantu kita melestarikan dan meningkatkan komunikasi antarbuddaya.
Dilihat dari fungsinya, bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami apabila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh: terhadap buah pisang orang Sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya gedang. Kemudian definisi bahasa secara formal ialah semua kalimat yang terbayangkan dan bisa dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa bisa dikatakan mempunyai tata bahasanya sendiri. (http://Penggunaan Bahasa di dalam Komunikasi Antarbudaya « Communication as a broad study.html).
Komunikasi Antarbudaya Efektif
Dalam banyak hal, hubungan antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik. Keduanya saling mempengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat, kita perhatikan, abaikan, bagaimana kita berfikir, apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya. Budaya takkan hidup tanpa komunikasi, dan komunikasi pun takkan hidup tanpa budaya. Masing-masing tak dapat berubah tanpa menyebabkan perubahan pada yang lainnya. Masalah utama dalam komunikasi antarbudaya adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses persepsi. ((Mulyana & Rahmat,2001;34)
Semakin besar pebedaan antarbudaya, maka semakin besar pula kesadaran diri (mindfulness) para partisipan komunikasi. Hal ini memiliki konnsekuensi positif dan negative. Positifnya adalah kesadaran diri membuat kita lebih waspada. Ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Adapun negatifnya adalah, hal ini membuat kita tterlalu behati-hati, tidak spontan, dan tidak percaya diri. Dengan semakin baik kita mengenal, maka perasaan terlalu berhati-hati akan hilang dan menjadi lebih percaya diri dan spontan. Hal demikian ini pada gilirannya akan menambah kepuasan dalam komunikasi antarbudaya. Masalah sebenarnya bukan bagaimana menjaga interaksi dan mengupayakan saling pengertian melainkan, kita ini terlalu mudah menyerah setelah terjadi kesalahpahaman disaat awal. Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur bekurang tingkat kepentingan ketika hubungan menjadi lebih akrab. Dalam komunikasi antarbudaya kita seharusnya memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekwensi yang mengisyaratkan implikasi penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berinteraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil yang positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, kita mungkin menghindarinya. Dengan demikian, kita akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan kitta dibandingkan orang yang sangat berbeda. Tetapi memperluas pergaulan kita mungkin akan memberikan kepuasan yang ebih besar setelah beberapa waktu. Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif , kita terus melibatkan diri dalam komunikasi dan meningkatkan komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negative, kita akan menarik diri dan mengurangi komunikasi. Ketiga, kita membuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan memberikan hasil positif. Dalam komunikasi, kita berusaha memprediksi hasil, misalnya dari pilihan topik, posisi yang kita ambil, perilaku nonverbal yang kita tunjukkan, banyak pembicaraan yang kita lakukan, disbanding dengan tindakan mendengarkan, dan sebagainya. .(fajar,2009;304:306)
Namun dalam prosesnya komunikasi antarbudaya terjadi sebuah hambatan dan masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Dalam menciptakan sebuah keefektifan komunikasi antarbudaya, komunikasi akan lengkap bila penerima pesan yang dimaksud mempersepsi atau menyerap perilaku yang disandi, memberi makna kepadanya dan terpengaruh olehnya. Dalam transaksi komunikasi harus dimaksukkann semua syimuli sadar-taksadar, sengaja-tak sengaja, verbal- nonverbal yang kontekstual yang berperan sebagai isyarat-isyarat kepada sumber dan penerima tentang kualitas dan kredibilitas pesan. Dalam proses interaksi antarbudaya sama halnya dengan harus memperhatikan delapan unsur komunikasi, kedelapan unsur tersebut yaitu, sumber (source), penyandian (ecoding), pesan (message), saluran (chanel), penerima (receiver), penyandian balik (decoding), respon penerima (receiver response) dan yang terakhir umpan balik(feedback).
Rabu, 18 April 2012
MAKNA PENGORBANAN
SEBAGAI SUMBER ETIS, MORAL DAN SPIRITUAL
Jum'at 10 Jun 2011 05:29 AM Alim Sumarno, M.Pd
Menurut Moh Sholeh
(2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan
untuk mengeksploitasi sumber-sumber pendukung keseimbangan dan harmoni semesta,
baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral
dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan
terus-menerus mengumbar angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sebuah sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkorban demi kepentingan
bersama, mementingkan orang lain, bagai
pungguk merindukan bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan
beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap pandangan milik orang lain dan
menunggu kelengahannya. Modus operasinya bisa melalui tipu muslihat yang halus
ataupun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis,
mencopet, menodong, merampas, dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya.
Dalam masyarakat tragis, memang kita seperti iklan
cola-cola, always dicekam oleh kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang
mahal. Nihilnya freedom from fear, kata From. Padahal mestinya freedom from
fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya adalah dengan membangun
dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang lain, menolong
yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi
yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan
ancaman.
Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragis,
individu yang lahir akibat hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya
karena kegagalan komunikasi kepentingan antar-budaya, antar-individu. Dalam
pandangan Lucien Goldman, individu tragis adalah mereka yang sadar diri namun
tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Merujuk
Goldman, sebenarnya tidak saja individu tragis yang menyebarkan kebersamaan
kita sebagai satu bangsa, melainkan masyarakat tragis, budaya tragis, politik
tragis, ekonomi tragis, bahkan Indonesia yang tragis. Sebagai contoh kasus,
kita terus berlomba dengan Nigeria dan Banglades sebagai negara terkorup di
dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah akibat
dari bencana alam, konflik etnis, pertentangan agama, dan adanya
kantung-kantung pengungsi yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dalam Indonesia yang tragik, seluruh aspek kebersamaan dan
berkorban demi sesama pada tataran politik, ekonomi, budaya termasuk agama,
mengalami proses minimalis yang terus menukik menuju nihilisme. Betapa
ironisnya, suatu bangsa besar yang dibangun atas semangat Bhineka Tunggal Ika,
dan dengan mengorbankan egoisme sempit kesukuan, keagamaan dan kepentingan
kelompok, demi kesatuan dan keutuhannya, kini terseok-seok didera beragam
krisis. Potensi kebersamaan dan kekayaan negara, secara culas dan curang
diperebutkan oleh banyak kelompok anak bangsa, digeser menjadi milik golongan,
kelompok, perseroan ataupun perseorangan.
Dalam babakan kehidupan seperti inilah, pesan mengenai
pengorbanan haruslah sekuat tenaga kita transformasikan. Dalam babakan
kehidupan yang sama pula, nilai-nilai adi luhur pengorbanan itu menemukan
aktualitas, aksentuitas,dan resonansitasnya. Memang nilai-nilai pengorbanan
tidak secara langsung dan otomat sebagai shock therapy untuk menghilangkan
egoisme dan tragisme individu ataupun masyarakat, tapi paling tidak nilai
pengorbanan bisa kita jadikan pembuka jalan menuju kemanusiaan yang sempurna
(insan kamil).
Dalam formulasi Ali Syariati (1978) ada tiga tahap yang
harus ditempuh untuk sampai derajat insan kamil, yaitu (a) membuang jauh-jauh
rasa tamak dari dalam jiwa, (b) menaklukkan nafsu mementingkan diri sendiri
(pour soi), (c) dengan berpijak pada
keduanya individu akan terbawa pada ketulusan mengabdikan dan mengorbankan
segala yang ada kepada Tuhan dan kemanusiaan (en soi).
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, secara rinci
merangkum dalam tujuh pilar syarat aktivitas yang membebaskan sebagai berikut :
(a) prinsip cinta kasih, (b) rendah hati, (c) percaya pada daya kreativitas
manusia, (d) kepercayaan yang menuntut semua orang untuk berjiwa terbuka, (e)
merelatifkan pendapat yang berlaku umum tetapi salah, (f) membangkitkan
keberanian pribadi dalam kemapanan sosial (civil courage), (g) identifikasi
hakikat masalah (problem stellung) dengan penyadaran (conscientization)
(Kanisius, 2001).
PEMERINTAH MELUNCURKAN BUKU UNTUK SOSIALISASI KENAIKAN BBM
Pemerintah khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meluncurkan buku yang berjudul "Subsidi BBM buat (si) Apa?" demi menjelaskan kenaikan harga premium dan solar. Buku tersebut diluncurkan hari ini, Senin (26/3/2012). Dalam buku dengan sampul warna kuning ini, pemerintah menjelaskan bagaimana rencana kenaikan harga BBM bersubsidi adalah suatu kebijakan yang memang tidak populer. Pemerintah mengakui kebijakan ini dinilai banyak orang memang tidak berpihak pada rakyat banyak. Tetapi, dalam buku, pemerintah menjelaskan bahwa menaikkan harga BBM harus dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang kuat. Misalnya saja, dengan menaikkan harga BBM maka kenaikan subsidi energi bisa diantisipasi. Pemberian kompensasi pun dijelaskan di dalam buku dengan jumlah halaman sebanyak 26 lembar ini. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah akan menambah frekuensi jatah beras untuk rakyat miskin menjadi 14 kali dalam setahun. Sekarang ini hanya 12 kali per tahun. Buku ini disebarluaskan pada saat Rapat Kerja antara pemerintah dengan Badan Anggaran, di DPR, Senin pagi. Belum diketahui secara pasti kemana buku ini akan disebarluaskan lebih lanjut. "Ini sosialisasi. Ini kan ada gambar, orang yang pakai Alphard pakai premium (atau) ingin disubsidi juga. Ini kira-kira 77 persen BBM yang bersubsidi jatuh ke fihak yang begini jadi tidak tepat sasaran," sebut Menteri ESDM, Jero Wacik, di DPR, Senin.
Langganan:
Postingan (Atom)